Jumat, 05 Desember 2008

Festival Budaya Solo

Ada yang berbeda dari Festival Bengawan Solo tahun ini. Acara tahunan yang berlangsung di Pendapi Gede, Kompleks Balai Kota, Solo, Jawa Tengah, baru-baru ini, disemarakkan berbagai kesenian tradisional Indonesia. Penampilan balinese group Institut Seni Indonesia Solo membuka acara yang bertemakan "Aktualisasi Warisan Budaya". Grup Putri Hijau yang datang dari Medan, Sumatra Utara, pun tampil memukau dengan Raleng Tendi, yaitu upacara ritual masyarakat Karo untuk memanggil arwah leluhur, sebagai penyembuh penyakit.Selain dua grup dari dua provinsi tersebut, tampil pula Paguyuban Wayang Topeng dari Malang, Jawa Timur. Lahare dari Makassar, Sulawesi Selatan dan Kunokini Percussion dari Jakarta. Antusias para seniman ini adalah salah satu upaya mengangkat kembali berbagai seni tradisional Indonesia yang mulai terpinggirkan.

Mitos Bahasa Inggris

Apa yang disebut mitos? Mitos adalah sesuatu yang kita percayai dan telah diangap sebagai sebuah kebenaran sejak dahulu tapi sebenarnya tidak benar. Salah satu contoh adalah mitos bahwa cula badak merupakan aprodisiak yang ampuh sehingga badak dibunuhi dan culanya dipreteli untukaprodisiak. Celakanya itu cuma mitos yang tidak ada landasan ilmiahnya. Badak dibunuh untuk sesuatu yang tidak benar.Begitu juga dengan belajar bahasa Inggris. Belajar bahasa Inggris diyakini akan dapat membuat para pegawai akan meningkat kinerjanya. Lebih daripada itu, belajar bahasa Inggris juga akan dapat membuat sebuah bangsa akan mampu maju dan berkembang di era kesejagatan yang kita sebut era globalisasi itu. Pokoknya kalau tidak bisa bahasa Inggris dianggap ‘kurang gaul’ dan tidak akan mampu berpretasi dalam karirnya. Akibatnya, hampir semua pemimpin daerah memaksa aparat-aparatnya untuk kursus bahasa Inggris. Maka maraklah kursus bahasa Inggris bagi pegawai pemda di hampir semua daerah.Tapi apa yang terjadi? Setelah belajar bahasa Inggris dan kursus ke berbagai lembaga yang paling top dengan biaya yang paling mahalpun ternyata tidak mampu mendongkrak kemampuan berbahasa Inggris para aparat yang rata-rata memang kemampuan bahasa Inggrisnya payah. Apakah dengan itu berarti para aparat tersebut kinerjanya buruk dan tidak punya ‘masa depan’? Tidak. Itu hanya mitos.Masalah penggunaan bahasa (dan budaya) asing (bahasa Inggris) sebenarnya telah menjadi perdebatan panjang sejak jaman Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 60-an. Kita terombang-ambing antara mengadopsinya menjadi bahasa kedua atau tetap menjadikannya sebagai bahasa asing. Perlakuan atara keduanya tentu berbeda dan dampaknya juga tentu berbeda. Sebagai contoh, beberapa negara tetap mempertahankan bahasa nasionalnya dan bertekad untuk tidak mempopulerkan penggunaan bahasa Inggris. Negara-negara tersebut adalah Jepang, Prancis, Jerman, Italia, dll. Kalau Anda berkunjung kesana jangan harap Anda akan mendapat jawaban jika bertanya dalam bahasa Inggris. Mereka sangat bangga dengan bahasa nasional mereka dan mereka menuntut agar setiap orang yang datang ke negara mereka menggunakan bahasa nasional mereka.Beberapa negara lain, sebaliknya, beranggapan bahwa hanya dengan menguasai bahasa Inggris secara penuh dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari kemajuan bangsa akan diperoleh. Mereka mempopulerkan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, seperti India, Singapura, sebagian Kanada, Philipina, dan bahkan menjadikannya sebagai bahasa nasional karena faktor sejarah seperti Australia, New Zealand, dan Amerika. Di negara-negara tersebut Anda dapat dengan mudah menggunakan bahasa Inggris karena bahasa tersebut dipergunakan secara meluas dalam kehidupan sehari-hari.Malaysia sendiri yang semula ingin mempertahankan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dan tidak ‘menggalakkan’ penggunaan bahasa Inggris kini mulai banting setir setelah melihat bahwa ‘bahasa Melayu is going nowhere’ karena bangsa penggunanya tidak memiliki pengaruh di dunia internasional dan semakin kecil pengaruhnya. Sebaliknya, bahasa Inggris semakin menampakkan pengaruh kuatnya dalam era kesejagatan ini. Mereka kini mulai mengambil sikap tegas untuk mempopulerkan bahasa Inggris di kelas-kelas mereka sejak sekolah dasar. Di negara tersebut buku-buku Harry Potter tidak diterjemahkan dan jika ingin membacanya silakan baca dalam bahasa aslinya.Bagaimana dengan bangsa kita? Apakah kita telah mengambil keputusan sejak perdebatan panjang pada jaman Sutan Takdir Alisyahbana yang menguras energi kita tersebut? Dengan segala kerendahan hati saya katakan tidak. Kita tidak pernah ‘menyelesaikan’ perdebatan tersebut dan tidak pernah berani melangkah dari sekedar berdebat dan mulai mengambil keputusan seperti Jepang mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan bahasa mereka bagi pelajar-pelajar mereka dan lebih memilih untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa ibu mereka. ‘Get the content, leave the language behind’ adalah prinsip mereka. Mereka berkeyakinan bahwa tanpa menguasai bahasa Inggris pun mereka akan sanggup menjadi bangsa besar. Budaya bangsa tidak akan mereka kompromikan sedikitpun. Suatu sikap yang sangat heroik.Orang-orang Jepang memang pada akhirnya tidak mahir berbahasa asing (dibandingkan dengan orang-orang kita, misalnya) tapi mereka tetap memperoleh ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat dengan cara menterjemahkannya. Hampir tidak ada buku-buku penting yang tidak mereka terjemahkan dan terbitkan daam bahasa jepang. Disini berlaku pepatah “Siapa melangkah lebih jauh melihat lebih banyak”. Bangsa Jepang tetap unggul dan maju meski mereka tidak fasih berbahasa Inggris. Sangat jarang ada orang Jepang yang fasih berbahasa Inggris. Jauh lebih mudah mencari orang yang mengerti bahasa Inggris di Indonesia ketimbang di Jepang. Jepang juga tidak mau ‘repot-repot’ untuk ‘menginggriskan’ petunjuk-petunjuk jalan umum mereka. Kalau tidak bisa membaca huruf dan berbahasa Jepang, silakan tersesat!

Senin, 24 November 2008